Jakarta (ANTARA News) - Ideologi demikian pentingnya bagi suatu bangsa, sebab dalam artian yang umum ideologi selalu memuat sistem nilai dengan segala simboliknya yang dianggap transendental dan menjadik pedoman hidup bangsa yang bersangkutan.

Seringkali ideologi juga menjadi pedoman asasi bagi pelaksanaan politik luar negeri suatu bangsa. Begitu juga dengan bangsa Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidupnya. Berbicara jati diri bangsa Indonesia, berarti berbicara mengenai Pancasila.

Sejak merdeka tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah melaksanakan agenda kenegaraan yang pertama kali, yakni menetapkan dasar negara berupa UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan Aturan Tambahan, dan di dalamnya tersurat Pancasila sebagai ideologi atau "roh" negara.

Pancasila sebagai ideologi negara tidak dapat diamandemen karena kelima sila dari Pancasila sudah mencakup seluruh aspek kehidupan, khususnya kehidupan segenap warga negara Indonesia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial.

Dalam kaitan dengan ideologi itu sendiri, KJ Holsti, pakar Hubungan Internasional dalam bukunya International Politics: A Framework for Analysis (1981, 373-374) berpendapat, ideologi secara definitif diartikan sebagai suatu sistem pemikiran mengenai teori politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan; dan sistem pemikiran ini menunjukkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, di mana masyarakat itu sendiri dipengaruhi oleh hasil dari pemikiran tersebut.

Oleh karena menyangkut berbagai aspek kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi maupun kebudayaan, di dunia ini dikenal bermacam-macam ideologi, antara lain ideologi Komunis, Sosialis, Fascis dan Liberal atau Kapitalis.

Masing-masing ideologi memiliki karakteristik yang berbeda. Ideologi Sosialis misalnya, menekankan aspek pemerataan, sedangkan ideologi Liberal atau Kapitalis menekankan persaingan bebas.

Pergeseran Nilai

Perjalanan waktu yang begitu panjang untuk mempertahankan, dan menegakkan kemerdekaan serta kedaulatan negara dan bangsa menjadi sebuah tekad yang ditulis dalam hak dan kewajiban warga negara terhadap pertahanan negara.

Artinya, kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara merupakan tanggungjawab setiap warga negara dengan mempertahankan negara dari ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) dari luar negeri dan atau dari dalam negeri.

Sebelum reformasi, spirit untuk meraih kehidupan berbangsa yang terhormat banyak didorong oleh semangat nilai-nilai Pancasila yang tertanam dalam jiwa rakyat Indonesia.

Sebagai contoh adalah mengemukanya sisi musyawarah untuk mufakat, suatu kegiatan yang selalu dilaksanakan dalam pengambilan keputusan.

Semangat musyawarah untuk mufakat pada masa itu merupakan nilai-nilai pendorong penanaman rasa dan paham serta semangat kebangsaan. Sementara itu materi Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dulu dipakai sebagai pemersatu kini sudah tinggal sejarah.

Di sisi lain kemerosotan moral, kekerasan, kemiskinan dan kesenjangan sosial serta lemahnya penegakan hukum, selain maraknya konspirasi dan kolusi di kalangan birokrasi dalam batas-batas tertentu telah mempermudah intervensi asing untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, bahkan kelompok teroris pun tidak pernah jera melakukan aksinya merusak kondisi sosial masyarakat Indonesia.

Nilai-nilai luhur itu sudah mulai digeser oleh nilai-nilai liberal dengan kecenderungan kehidupan masyarakat yang konsumtif serta banyak mengadopsi nilai-nilai dengan standar kehidupan yang tidak Pancasilais. Ke depan, Pancasila sebagai ideologi negara mungkin hanya tinggal sejarah jika kita tidak mempertahankannya.

Pada masa lalu pernah terjadi penyelewengan dan pengkhianatan Pancasila, yakni dengan munculnya gerakan-gerakan pemberontakan yang puncaknya terjadi pada 1 Oktober 1965. Sejarah mencatat telah terjadinya pembunuhan terhadap para petinggi TNI AD yang pada masa itu sangat keras untuk tetap menolak pembentukan "Angkatan V" atau disebut dengan buruh dan tani yang dipersenjatai.

Penyelamatan Pancasila

Dalam kaitan dengan bela negara, sistem pertahanan semesta melibatkan seluruh komponen pertahanan negara yang diuraikan dalam UU RI No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Ketentuan yang ada di dalamnya sudah sesuai dengan aturan hukum internasional yang berkaitan dengan prinsip pembedaan perlakuan terhadap "kombatan" (pasukan yang terlibat tempur) dan "nonkombatan" (tidak terlibat tempur). Pembelaan negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam kegiatan pertahanan negara merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga negara.

Oleh karena itu setiap warga negara harus melatih dirinya untuk sewaktu-waktu siap dipanggil Ibu Pertiwi untuk mempertahankan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejarah mencatat, perang kemerdekaan adalah perang gerilya, perang rakyat semesta, dan perang mempertahankan ideologi Pancasila yang menghabiskan banyak waktu dan memerlukan ketabahan luar biasa dalam menghadapi penderitaan.

Sesudah penarikan tentara Belanda, muncul lanjutan berupa perang saudara yang tidak kurang hingar-bingarnya. Kericuhan ini memperpanjang penderitaan masyarakat dan merusak lembaga-lembaga adat istiadat, pemerintahan, dan kemasyarakatan, sehingga diperlukan upaya-upaya yang besar dan waktu yang lama untuk membalikkan keadaan agar kembali menjadi stabil.

Fakta menunjukkan, kestabilan dapat dicapai kembali ketika Pancasila benar-benar dijadikan sebagai "titik temu" dari semua aktivitas berbangsa dan bernegara.

Seperti dinyatakan di atas, perang kemerdekaan adalah perang ideologi, maka dengan ideologi yang mumpuni akan dapat terus dibangkitkan semangat untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Oleh karena itu Pancasila sebagai ideologi bangsa harus selalu dipertahankan serta harus terus dimantapkan pengamalannya oleh segenap bangsa Indonesia.

Dalam kaitan ini maka sudah saatnya pemerintah membentuk Badan Pengkajian dan Penerapan Pancasila agar bangsa Indonesia terbebas dari belenggu kebodohan dan aksi-aksi kejahatan, termasuk terorisme.

Walaupun tindakan teroris dengan mengangkat isu jihad disimpulkan sebagai tindakan melawan hukum, pada dasarnya perang terhadap terorisme merupakan perang ideologi.

Penekanan kata "jihad" yang tidak pada tempatnya sudah merupakan penindasan dan pemaksaan secara halus terhadap anggota masyarakat yang memang miskin secara ekonomi dan pemahaman agama.

Menyadari bahwa terorisme menerapkan metode perang gerilya, perang semesta, atau perang ideologi, maka selalu dibutuhkan hadirnya para pejuang dari generasi muda yang mempunyai spirit cinta tanah air dan kesanggupan untuk terus menyalakan semangat perang terhadap upaya perusakan ideologi Pancasila.

Berkenaan dengan peringatan gugurnya para syuhada bangsa pada 1 oktober 1965, sudah saatnya bangsa Indonesia mendirikan lembaga negara yang didedikasikan untuk menyelamatkan Pancasila.

Selain itu, karena peringatan perjuangan para syuhada bangsa pada 1 Oktober 2009 kebetulan berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H, maka diharapkan bangsa Indonesia meraih nilai-nilai kemenangan sebagai bangsa yang kuat dan sabar serta dapat saling memaafkan kesalahan satu sama lainnya, sehingga ke depan sistem pertahanan semesta menjadi bertambah paripurna. (***)